Arrow

Also in Category...

Catatan diskusi di Study Club Di Bawah Payung Intelektural (Yogyakarta)

Yudi : Melihat bahwa realitas bencong itu adalah realitas sosial yang menarik karena masyarakat kita memiliki sikap yang ambigu terhadap status bencong. Ambiguitas ini nampak pada dua sisi yakni: di satu sisi simbol kebencongan ditolak mentah-mentah, sementara dari aspek makan, masyarakat kita menerima.
Secara antropologis, bencong itu menunjukkan bahwa status seseorang yang abu-abu atau tidak jelas karena tidak meneguhkan memilih menjadi laki-laki atau perempuan.

Ketel: Konteks Makasar dikenal istilah Biku untuk merujuk pada bencong. Sementara Jawa memiliki konsep Semar sedangkan Islam mengenal konsep Kasim. Mereka itu dalam konteks budaya memiliki kekuatan supranatural. Dalam konteks sekarang malah terkesan disederhanakan. Ini berkaitan dengan konstruksi sosial kita. Ketika membicarakan bencong pertanyaannya kemudia bagaimana konstruksi sosial membentuk bencong? Mengapa sistem kapitalisme kini terkesan memanfaatkan simbol-simbol kebencongan atau malah jadi komoditi?
Maka mungkin ke depan, sistem toilet kita harus menyediakan toilet khusus waria atau bencong. Banyak bencong dari ranah seksual, mereka adalah korban seksualitas karena mereka merasa jijik dengan kepemilikan alat kelamin mereka sendiri.

Lian: Sebenarnya kontradiksi bencong dalam ranah televisi adalah alat penghibur dan yang dijalanan begitu juga gak sih? Dalam televisi seluruh tontonan adalah hiburan. Trus dalam konstruksi sosial ya...itu kayaknya...itu..hmmm...tapi...waria sama bencog itu apa bedanya.

Yudi: Tomboi adalah perempuan yang bersifat lebih maskulin dan diterima sebagai hal yang biasa sedangkan bencong dipandang aneh. Jangan-jangan ini karena sistem masyarakat kita yang patriarki. Jika ada laki-laki yang bersikap klimis-klimis dipandang banci. Tetapi sekarang nampaknya sudah mulai bergeser sehingga hal ini saya lihat sebagai bentuk kontradiksi di dalam masyarakat. Seharusnya ketika masyarakat melihat bencong di TV, seharusnya dalam dunia realitas, mayarakat kita metinya menerima.

Ketel: Ada di Jogja yang konsern sama bencong yaitu LkiS dan mungkin Hendra memiliki informasi mengenai pesantren untuk para bencong. Saya tidak tahu bagaimana mereka terbentuk menjadi bencong. Menyoal bencong, saya bertanya pada para waria saya bertanya jika nanti kamu mati kamu mau dikubur sebagai apa, laki-laki atau perempuan? Ternyata jawabannya beragam. Jika dilihat dari sudut pandang budaya patriarki dan matriarki ini menjadi diskursus menurut saya. Karena membicarakan bencong ini amat sangat sulit dan jika dikaitkan dengan kapitalisme jelas bukan hanya soal bencong yang dapat dijual, bahka kita semua juga dapat dijual. Tapi aneh untuk kontes bencong, orang-orang yang hidup di dunia antara ini justru mereka menjadi penghubung antara dunia atas dan dunia bawah, ini dalam konteks budayanya.

Hendra:  menarik memang bicara tentang bencong. Apakah bencong disebut homo seksual? Justru ketika ditanya itu dia jawab dia itu seorang perempuan, meski tubuhnya lelaki. Diantara hubungan dua orang yang parlente yang homo mana yang disebut bencong.

Ketel: dalam hubungan homo/lesbian itu ada peran-peran perempuan-lelaki. Pada hubungan homo ada konstruksi salah satunya sebagai lelaki dan perempuan. Pada hakekat mereka normal dalam hubungan. Di konteks kita, negara tidak mau menjembatani konstruksi bencong ini. Di Thailand negara menfasilitasi operasi kelamin. Bencong itu bicara tentang kelamin. Pada ranah bencong ini lelaki yang mengambil ranah keperempuan yang kemudian memberi mereka satu kerja seperti di salon, penata rias, dst. Bagiku mereka adalah orang-orang yang terpenjara dalam kelaminya, bukan status sosial. Kelamin inilah berkorelasi dengan budaya, dll. Contoh pada Miss Waria yang menyatakan bahwa dia terperangkap dalam tubuh pria.

Syaiful: Bencong itu penyakit atau bagaimana sih? Ditanya apakah mereka suka perempuan, mereka bilang tidak.  Bisakah para bencong itu mendeklarasikan diri mereka, tapi mereka tidak jelas juga. Harus diperjelas kelaminnya...aku bingung sampai sekarang soal bencong ini. Mereka minta emansipasi, saya kira sampai kiamat mereka akan diakui. Kita cuma menikmati, tapi tidak mau mengakui. Di luar negeri sana tidak ada masalah.

Ketel: Aku berpikir justru dalam alam tradisional para bencong ini mendapat tempat yang terhormat, seperti Biku dan kasim di China. Dalam masyarakat tradisi mereka-mereka itu dianggap lebih tinggi. Misalnya Semar di Jawa. Untuk kaum Biku mereka memiliki seremonial  tersendiri.  Apa ada sesuatu yang hilang dari konstruksi sosial kita dimana tempat bencong itu?

Teh Dede: Kalau saya melihat fenomena bencong, saya ingat tulisan....yang konteksnya yin-yang, dst...Kalau kita itu memiliki dua sisi: maskulin dan feminim. Dalam tubuh kita memiliki dua itu. Ketika sisi maskulin itu yang menonjol maka ia menjadi lelaki, begitu juga sebaliknya. Ketika bicara tentang bencong, kita lupa ada ruang tengah-tengah. Dalam konteks rumah-rumah kita, ada ruang atas, ruang tengah, dan ruang bawah. Yang tengah itu justru menjadi ruang yang luas. Dalam konteks inilah bencong berada pada posisi yang tercerahkan. Misalnya pada kasus Semar, dia adalah representasi dewa yang santun. Jika saya melihat secara iseng, jangan-jangan bencong itu dikonstruksi oleh dikotomi antara feminin-maskulin. Dalam konteks agama jelas ada dikotomi itu, tapi tidak dalam konteks sosiologis. Saya ingat ada cerita dari Sulawesi, para bencong itu hadir dan ada. Di sini mereka selalu dilibatkan dalam masyarakat. Itulah yang kemudian mereka berbeda dengan bencong yang ada di sini. Di Bugis juga mereka memiliki pacar, bahkan di-hajikan. Mereka hadir secara wajar secara sosiologis. Dalam masyarakat sendiri para bencong ini juga dilibatkan dalam setiap kegiatan pernikahan. Itulah jangan-jangan kita melihat bencong itu sebagai hal yang aneh, karena kita memang masih dikonstruksi oleh dikotomi antara lelaki dan perempuan.

Saiful: Bencong itu bagaimanapun tidak memilih untuk menjadi bencong. Ini cuma penyakit. Proses menjadi bencong itu tidak lain karena faktor lingkungan.
Benarkah sejarah merupakan tabel-tabel kebodohan manusia masa lalu sebagaimana disinisi oleh Voltaire? Memang, yang paling bisa kita pelajari dari sejarah adalah manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Keterpurukan ekonomi, konflik disertai kekerasan, vandalisme, segregasi etnik, ketidakadilan sosial, dan sebagainya seakan menjadi tapak-tapak waktu dalam tubuh-tubuh manusia dalam rentang waktu ratusan tahun. Sikap-sikap penghancuran peradaban itu muncul seiring pergantian antargenerasi.

Atau dalam bahasa Perancis le’ histoire se repete, sejarah yang berulang. Mungkin benar juga, keterulangan sejarah terjadi memang tidak pada aktor sejarahnya, tapi pada perilaku manusia setiap zaman, dari dulu sampai sekarang. Jika demikian, salahkah Voltaire?

Followers